Bantal Guling Lala
Dulu ketika
aku pertama kali menatap indahnya dunia ini, orang tuaku membesarkanku sampai
sekarang.
Orangtua ku
memberikan sebuah bantal guling untuk menopang tubuhku sehingga aku tidak
terguling. Pada saat itu, aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku ingin
sekali dibelikan mamaku bantal guling yang berbentuk tokoh kartun teletubbies.
Senang sekali ketika aku dibelikan guling itu. Mungkin kira - kira bantal
guling itu sekarang berumur sepuluh-an tahun.
Setiap
tidur pasti aku memeluknya, sampai-sampai kalau tidak ada bantal guling itu
disampingku aku seperti gelisah dan susah untuk tidur. Bahkan hingga sepuluh
tahun, bantal guling itu baru aku cuci sekitar lima kali. Karena aku sayang
sekali dengan bantal guling itu, sehingga tak sempat aku cuci. Bantal guling
yang kubeli bersama - sama dengan ayukku itu sekarang masih ada di kamar
tidurku. Kalau punya ayukku bantal gulingnya bergambarkan tokoh kartun Winnie the
pooh, tetapi punya ayukku sudah gak tau kemana.
Bantal
gulingku itu sangat aku rawat sekali, hanya saja mata dan hidungnya sudah
hilang. Setiap hari kubawa tidur dan kubawa mimpi. Senang rasanya kalau bantal
gulingku itu berada di sampingku. Terkadang aku berfikir, mengapa aku tidak
membuangnya? Tetapi kalau aku membuangkanya aku seperti kehilangan anggota
keluargaku saja. Sampai - sampai pernah ketika aku menginap di rumah nenekku,
bantal guling itu selalu kubawa untuk menemani tidurku. Jangankan itu, ayukku
yang terbaring di rumah sakit saja aku tidak mau tidur di rumah sakit, tetapi
aku memilih untuk tidur di rumah dengan bantal guling kesayanganku itu.
“kenapa
kamu memilih untuk tidur di rumah?,” tanya mama.
“gak papa
lah daripada disini tidur bersama orang sakit, biarin saja,” jawabku.
Akhirnya
aku nekat pulang kerumah demi bantal guling itu. Sebelum ayukku terbaring di
rumah sakit, mamaku ingin membuang bantal gulingku kesayanganku itu. Sepulang
sekolah sudah tidak ada di kamar tidurku, kesal sekali aku, sampai-sampai aku
mencarinya dimana-mana. Mamaku hanya terdiam seketika aku membentaknya. Mamaku
hanya melihat dengan tatapan seperti orang yang tidak suka.
“aduhhh. .
kemana bantal gulingnya??,” tanyaku kepada mama.
“dibuang!,”
jawab mama.
“bodok,
kalau sampai gulingku besok gak ditemuin liat aja,” aku mengancam.
Esok
harinya mamaku memberikan guling itu kepadaku.
“ini
gulingnya, kemarin sengaja mama sembunyikan, hanya ingin tahu reaksi kamu
setelah mama sumputin bantal guling itu,” seru mama.
“ooo yasudah.
. sudah liat kan?,” jawabku.
“Ayukku
menjawab,” eleh. . cuma demi bantal guling butut yang jelek itu aja marahnya
sampai begitu,” jawab ayuk.
“bodok amat
ya. . guling punya saya kok kamu yang sibuk, coba kalau benda kasayanganmu itu
disembunyikan atau dibuang, kamu pasti marah kan, ha?,” seruku.
“Ayukku
hanya terdiam dan tidak bisa menjawab apa - apa, tak lama kemudian ia menjawab
dengan lembut, “ ia, saya ngerti kok perasaan kamu gimana, pasti dongkol.” ”takut
kan kamu sekarang, makanya kalau ngomong jangan asal ngomong, dipikirin dulu,
jangan asal,” jawabku dengan lantang.
Setelah
kejadian itu orang tuaku dan ayukku tidak memarahiku lagi. Sekarang mereka
hanya melihat dan memperhatikanku dengan bantal guling kesayanganku itu. Bantal
guling itu sangat berarti bagiku, benda mati yang seolah-oleh hidup, menemaniku
disaat aku tidur terlelap dan bermimpi. Bahkan kejadian masa lalu dapat
kukenang melalui bantal guling itu.
Benda
kesayanganku itu sangat berarti bagiku disaat aku masih duduk dibangku sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, sampai aku duduk dibangku sekolah menegah
atas. Setiap hari kupandangi disaat sebelum aku tidur. Bantal guling itu selalu
menemaniku seketika aku sedih, suah, senang. Setiap hari kutatapi dan
kumasukkan sedikit demi sedikir memori yang ada dalam fikiranku. Dia telah
menjadi sahabatku sekaligus menjadi anggota keluargaku. Tak pantas jika aku
memanggilnya seperti itu, tetapi walau bagaimanapun dia adalah tempat menampung
kekesalan dan luapan emosi juga. Kalau tidak ada bantal guling itu, entah
bagaimana perasaanku jikalau aku sedang sedih, susah dan senang. Aku tidak
dapat berbagi cerita dan pengalaman dengan anggota keluargaku itu, seakan tidak
ada yang dapat menandingi atau yang dapat merusak bantal gulingku itu. Aku
senang sekali, dia seakan hidup bagiku dan sekaligus dapat memberikan solusi
tentang bagaimana perasaanku. Dia juga dapat mengerti dan dapat membaca
fikiranku. Dia adalah wadah dari perasaanku untuk menjadi yang lebih baik dan
juga sekaligus pemberi motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku
sangat membela sekali kepada anggota keluargaku yang sudah menemaniku selama
sepuluh tahun lebih. Aku sangat sayang sekali kepadanya. Aku senang sekali kalau
menatapi bantal gulingku itu.
0 komentar:
Posting Komentar