Cute Finding Nemo

Rabu, 02 April 2014

Contoh cerita yang mengandung nilai nilai

Bantal Guling Lala

Dulu ketika aku pertama kali menatap indahnya dunia ini, orang tuaku membesarkanku sampai sekarang.
Orangtua ku memberikan sebuah bantal guling untuk menopang tubuhku sehingga aku tidak terguling. Pada saat itu, aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku ingin sekali dibelikan mamaku bantal guling yang berbentuk tokoh kartun teletubbies. Senang sekali ketika aku dibelikan guling itu. Mungkin kira - kira bantal guling itu sekarang berumur sepuluh-an tahun.
Setiap tidur pasti aku memeluknya, sampai-sampai kalau tidak ada bantal guling itu disampingku aku seperti gelisah dan susah untuk tidur. Bahkan hingga sepuluh tahun, bantal guling itu baru aku cuci sekitar lima kali. Karena aku sayang sekali dengan bantal guling itu, sehingga tak sempat aku cuci. Bantal guling yang kubeli bersama - sama dengan ayukku itu sekarang masih ada di kamar tidurku. Kalau punya ayukku bantal gulingnya bergambarkan tokoh kartun Winnie the pooh, tetapi punya ayukku sudah gak tau kemana.
Bantal gulingku itu sangat aku rawat sekali, hanya saja mata dan hidungnya sudah hilang. Setiap hari kubawa tidur dan kubawa mimpi. Senang rasanya kalau bantal gulingku itu berada di sampingku. Terkadang aku berfikir, mengapa aku tidak membuangnya? Tetapi kalau aku membuangkanya aku seperti kehilangan anggota keluargaku saja. Sampai - sampai pernah ketika aku menginap di rumah nenekku, bantal guling itu selalu kubawa untuk menemani tidurku. Jangankan itu, ayukku yang terbaring di rumah sakit saja aku tidak mau tidur di rumah sakit, tetapi aku memilih untuk tidur di rumah dengan bantal guling kesayanganku itu.
“kenapa kamu memilih untuk tidur di rumah?,” tanya mama.
“gak papa lah daripada disini tidur bersama orang sakit, biarin saja,” jawabku.
Akhirnya aku nekat pulang kerumah demi bantal guling itu. Sebelum ayukku terbaring di rumah sakit, mamaku ingin membuang bantal gulingku kesayanganku itu. Sepulang sekolah sudah tidak ada di kamar tidurku, kesal sekali aku, sampai-sampai aku mencarinya dimana-mana. Mamaku hanya terdiam seketika aku membentaknya. Mamaku hanya melihat dengan tatapan seperti orang yang tidak suka.
“aduhhh. . kemana bantal gulingnya??,” tanyaku kepada mama.
“dibuang!,” jawab mama.
“bodok, kalau sampai gulingku besok gak ditemuin liat aja,” aku mengancam.
Esok harinya mamaku memberikan guling itu kepadaku.
“ini gulingnya, kemarin sengaja mama sembunyikan, hanya ingin tahu reaksi kamu setelah mama sumputin bantal guling itu,” seru mama.
“ooo yasudah. . sudah liat kan?,” jawabku.
“Ayukku menjawab,” eleh. . cuma demi bantal guling butut yang jelek itu aja marahnya sampai begitu,” jawab ayuk.
“bodok amat ya. . guling punya saya kok kamu yang sibuk, coba kalau benda kasayanganmu itu disembunyikan atau dibuang, kamu pasti marah kan, ha?,” seruku.
“Ayukku hanya terdiam dan tidak bisa menjawab apa - apa, tak lama kemudian ia menjawab dengan lembut, “ ia, saya ngerti kok perasaan kamu gimana, pasti dongkol.” ”takut kan kamu sekarang, makanya kalau ngomong jangan asal ngomong, dipikirin dulu, jangan asal,” jawabku dengan lantang.
Setelah kejadian itu orang tuaku dan ayukku tidak memarahiku lagi. Sekarang mereka hanya melihat dan memperhatikanku dengan bantal guling kesayanganku itu. Bantal guling itu sangat berarti bagiku, benda mati yang seolah-oleh hidup, menemaniku disaat aku tidur terlelap dan bermimpi. Bahkan kejadian masa lalu dapat kukenang melalui bantal guling itu.
Benda kesayanganku itu sangat berarti bagiku disaat aku masih duduk dibangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai aku duduk dibangku sekolah menegah atas. Setiap hari kupandangi disaat sebelum aku tidur. Bantal guling itu selalu menemaniku seketika aku sedih, suah, senang. Setiap hari kutatapi dan kumasukkan sedikit demi sedikir memori yang ada dalam fikiranku. Dia telah menjadi sahabatku sekaligus menjadi anggota keluargaku. Tak pantas jika aku memanggilnya seperti itu, tetapi walau bagaimanapun dia adalah tempat menampung kekesalan dan luapan emosi juga. Kalau tidak ada bantal guling itu, entah bagaimana perasaanku jikalau aku sedang sedih, susah dan senang. Aku tidak dapat berbagi cerita dan pengalaman dengan anggota keluargaku itu, seakan tidak ada yang dapat menandingi atau yang dapat merusak bantal gulingku itu. Aku senang sekali, dia seakan hidup bagiku dan sekaligus dapat memberikan solusi tentang bagaimana perasaanku. Dia juga dapat mengerti dan dapat membaca fikiranku. Dia adalah wadah dari perasaanku untuk menjadi yang lebih baik dan juga sekaligus pemberi motivasi untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku sangat membela sekali kepada anggota keluargaku yang sudah menemaniku selama sepuluh tahun lebih. Aku sangat sayang sekali kepadanya. Aku senang sekali kalau menatapi bantal gulingku itu.

0 komentar:

Posting Komentar